Keselamatan, menjadi satu-satunya alasan mengapa jembatan ini masih bertahan sejak dari zaman Belanda. Jembatan berkonstruksi kayu ini sangat vital bagi warga kampung Praguman yang dipisahkan secara demografis oleh Jalan raya Tuntang - Salatiga yang merupakan jalur utama Semarang - Solo.
Warga Praguman Wetan yang hendak ke masjid atau sawah yang letaknya dibarat jalan raya, harus melewati jembatan ini jika tak ingin "setor" nyawa. Pasalnya, tak mudah memutus arus kendaraan yang rata-rata melintas dengan kecepatan tinggi.
"Yang paling rawan itu pada saat anak-anak masuk ke sekolah dan jam pulang sekolah. Untunglah ada jembatan itu, sehingga orangtua tak perlu was-was lagi," kata Agus Santoso (54), Pemilik warung kopi yang ada di depan SDN 1 Tuntang.
"Jembatan di bawah jembatan" begitu warga menyebut, mempunyai panjang 15 meter dan lebar 1 meter. Pada dinding kolong jembatan, terdapat dua buah lampu penerangan yang menyala 24 jam. Untuk masuk ke dalamnya, orang dewasa harus membungkuk karena tinggi kolong dari lantai jembatan kurang dari 1,2 meter.
"Dulu sebelum jembatan di atasnya direhab, jembatan penyeberangan ini cukup lebar. Ada sekitar 2,5 meter lebarnya dan tinggi 1,5 meter. Jadi warga tak terlalu membungkuk ketika masuk," kata Ariyatno (37), warga Praguman Kulon.
Sekitar tiga tahun yang lalu pemerintah membongkar jembatan di atasnya menyusul pelebaran jalan raya. Pada saat itu, kata Ariyatno, warga meminta agar kolong jembatan bisa dibangun lebih tinggi supaya sepeda motor bisa lewat. Namun kenyataanya, ukuran lebar maupun tinggi kolong justru semakin berkurang.
Menurut pengakuan Ariyatno, jembatan penyeberangan bawah kolong ini sudah ada sejak ia lahir. Mbah Parjan, kakeknyalah yang pertama kali membuat jembatan ini pada zaman Belanda dengan menggunakan matrial bambu. Pekerjaan Mbah Parjan sebagai pembuat batu bata, membuatnya seringkali harus menyeberang jalan raya dari rumahnya yang ada disisi timur jalan menuju persawahan di bagian barat jalan raya.
"Karena harus bolak-balik, sedangkan menyeberang jalan ini butuh waktu lama apalagi jika sedang bawa keranjang rumput. Muncullah ide Mbah Parjan membuat jembatan penyeberangan ini," kata Ariyatno.
Jembatan penyeberangan ini, kata Ariyatno, beberapa kali diperbaiki oleh warga untuk mengganti kayu-kayunya yang lapuk. Kerusakan terparah pernah terjadi saat sungai di bawahnya diterjang banjir bandang beberapa tahun yang lalu.
Warga berharap pemerintah bisa membangunkan sebuah jembatan penyeberangan yang layak dan lebih aman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar