Sabtu, 21 April 2012

Rodiyah, 20 Tahun Jadi Pemecah Batu



Rodiyah (56), warga Desa Tamangede, Kecamatan Gemuh, Kendal, Jawa Tengah ini, tidak cuma seorang ibu, tapi juga seorang bapak. Ia harus bekerja setiap hari sebagai buruh pemecah batu di Jalan Tamangede Kecamatan Gemuh, untuk menghidupi anak-anaknya dan suami yang sudah lima tahun terkena stroke dan hanya bisa berada di rumah.

Rodiyah, yang bekerja ikut H. Solemi, sudah menggeluti pekerjaannya tersebut selama 20 tahun. Untuk setiap satu ember kecil (yang biasa digunakan untuk menimba air sumur) batu pecahan yang dihasilkan, ia dibayar Rp 350. Dalam sehari, rata-rata ia bisa menghasilkan 10 ember pecahan batu.

"Dalam seminggu, saya rata-rata mendapat upah Rp 20.000," kata Rodiyah, Sabtu (21/4/2012).

Rodiyah bercerita, menjadi buruh pemecah batu, awalnya hanya untuk mencari penghasilan tambahan. Pasalnya, uang dari suaminya, Achmad (60), yang bekerja sebagai sopir, tidak cukup untuk makan sehari-hari. Namun sudah lima tahun terakhir ini suaminya tidak bisa lagi bekerja karena sakit stroke.

"Anak saya lima. Tapi yang dua sudah menikah," akunya. Waktu kerja Rodiyah mulai pukul 07.00 hingga 15.00.

Sepanjang hari ibu yang juga rela bekerja serabutan ini duduk sambil memecahkan batu tanpa alat pengamanan yang memadai. Rodiyah menggunakan karet bekas ban untuk menjepit batu yang akan dipecah dan sebuah palu untuk memukul batu hingga pecah.

Wajahnya tidak ditutupi apapun sebagai pengaman. Sehingga tidak jarang, pecahan batu itu mencipratii mukannya. Namun hal tersebut sama sekali tidak dirasakan.

Jika tidak sedang bekerja sebagai pemecah batu, Rodiyah menerima order sebagai buruh cuci atau tukang masak jika ada tetangga atau siapa saja yang membutuhkan tenaganya.

Itulah Rodiyah, Kartini masa kini, yang bekerja sebagai pekerja pemecah batu, pekerjaan yang biasa dilakukan oleh kaum lelaki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar