Sabtu, 21 April 2012

Suyanti, Sopir Bus Malam Perempuan


undefined
Hari masih subuh saat bus Gajah Mungkur dari Jakarta tiba di Terminal Ngadirojo, Wonogiri, Jawa Tengah. Wajah-wajah kuyu segera bermunculan-- menggambarkan lelah setelah menempuh perjalanan 630 kilometer selama 15 jam. Termasuk pada raut wajah wanita setengah baya yang muncul dari balik pintu kemudi: Suyanti.
Suyanti memang sopir bus itu. Subuh itu tugasnya selesai. Perempuan yang akrab disapa Yanti itu pun bergegas pulang. Butuh sekitar dua jam sampai di rumahnya di Pucanganom, Giritontro, Wonogiri. Setelah menyiapkan sarapan dan bercengkerama sejenak dengan orangtua dan tiga anaknya, barulah dia bisa benar-benar beristirahat.
Tidurnya tak bisa berlama-lama. Wanita kelahiran 20 Agustus 1963 itu harus segera kembali ke terminal sebelum pukul 15.00. "Saya bisa pulang pergi Wonogiri-Jakarta tiga kali seminggu," ujarnya saat dijumpai VIVAnews di Plaza Bus Gajah Mungkur, Ngadirojo.
Desakan ekonomi setelah berpisah dengan suami pertama telah memaksa dia menghabiskan 22 tahun hidup di jalanan. Setelah suami keduanya meninggal, perempuan ini harus menjadi ibu sekaligus kepala keluarga.
Dia adalah satu-satunya pengemudi wanita dari puluhan sopir bus malam di tempatnya bekerja. "Awalnya hanya pelarian hati saya yang gundah,” ujarnya.

Suyanti tak pernah bermimpi bakal jadi sopir bus malam. Gagal membina hubungan rumah tangga di Jakarta, dia sebenarnya ingin membuka usaha sendiri di kampung halaman. Namun, apa daya modal tak punya.

Tanpa pendidikan tinggi dan modal usaha, dia dijepit kewajiban menopang hidup keluarga. Maka, melihat puluhan bus malam berseliweran di Wonogiri, langsung saja terlintas di benaknya untuk nekat melamar menjadi sopir.
undefined
Pada 1990, dia bergabung dengan PO Timbul Jaya. Semula, tak sedikit yang meremehkan kemampuannya. “Dulu pimpinan bilang, apakah saya bisa menyetir bus besar. Saya jawab kekhawatiran mereka. Saya dinyatakan lolos dan akhirnya dipasrahi satu armada bus," ujarnya, bangga.
Di PO Timbul Jaya, dia bahkan mendapat kepercayaan mengemudikan bus untuk trayek antarpulau. Dari Wonogiri, dia mengantar penumpang hingga Pekanbaru, Dumai, Bengkulu, Rengat, dan Jambi. “Dulu tantangannya jauh lebih berat. Saya bisa lima hari sampai seminggu di jalan," ujarnya.
Baru 12 tahun belakangan, sejak pindah ke PO Gajah Mungkur, Suyanti memegang trayek Wonogiri – Jakarta (pp). Dia bertugas mengemudikan bus dua kali, dari Wonogiri ke Batang dan dari Cirebon ke Jakarta. Dari Batang ke Cirebon adalah jatah sopir cadangan.
Sopir teladan
Menggeluti profesi di lahan yang didominasi pria jelas penuh tantangan. Cibiran tak hanya datang dari lingkungan kerjanya, tapi juga dari penumpang. Banyak penumpang yang merasa was-was begitu melihat sopirnya seorang wanita.

Yanti tak ambil pusing. Dia terima cibiran itu sebagai pelecut semangat, untuk membuktikan diri mampu bersaing dengan pria. “Jangan salah, saya juga bisa menyaingi para sopir pria. Kecepatan bus bisa sekitar 100 km/jam. Yang penting kan kehati-hatian,“ ucapnya, sambil tersenyum. "Lambat laun, mereka yang sudah terbiasa ikut saya malah bilang merasa nyaman dan bisa tidur pulas jika saya yang menyetir.“
Penyakit gawat bahkan tak sanggup mempensiunkannya dari kemudi. Mengidap tumor rahim stadium awal, tiga tahun lalu, dia mengaku hanya beristirahat enam bulan untuk menjalani kemoterapi, sebelum kemudian melaju kembali di jalanan.
 “Bagi saya, menjadi sopir bus itu sama saja membawa banyak nyawa. Keselamatan mereka juga menjadi bagian tanggung jawab saya,“ katanya.
Kecelakaan juga tak membuatnya jerih. Suatu waktu, di Semarang, sebuah mobil menabrak bus yang dikemudikannya. Untung, tak sampai ada korban jiwa. “Ternyata mobil bagian depan gepeng, ringsek. Saya tidak trauma, tapi teringat terus. Yang saya sayangkan, yang menabrak tersebut mabuk,” dia mengenang.
Sadar profesinya berisiko tinggi, dia tak pernah memaksakan kondisi. Jika mengantuk, dia segera meminta sopir cadangan memegang kendali. Dia mengharamkan doping. “Yang penting, kalau berangkat perut kenyang dan untuk mengusir jenuh, saya bawa camilan marning.”
Keteguhannya berbuah. Pada 2010, dia mendapat penghargaan sebagai sopir teladan dari perusahaannya.
Feminin
Hanya memiliki waktu di rumah sekitar enam jam setiap dua hari, tak membuat Yanti kehilangan perannya sebagai ibu rumah tangga. Dia selalu menyempatkan diri menyiapkan makanan untuk ibu dan anak-anaknya, termasuk mencari kayu bakar untuk memasak.

Suyanti juga tak kehilangan feminitasnya sebagai perempuan. Meski menggeluti profesi yang keras, jangan bayangkan sosoknya sebagai seorang perempuan gagah perkasa. Wanita berusia 48 tahun ini suka berdandan, mengoles lipstik, dan senang memakai gelang dan anting-anting. Gaya bicaranya pun tetap lemah lembut. “Kalau ada masalah, saya menahan emosi dan berusaha sabar,” ujarnya.
Iba melihat ibu mereka membanting tulang di jalanan, tiga anaknya yang sudah beranjak dewasa berkali-kali meminta dia pensiun.  Tapi,  Yanti selalu menolak. Pensiun masih jauh dari benaknya. “Saya sudah jatuh cinta dengan pekerjaan ini,” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar